Wawancara Khusus dengan Ivana Suprana Dirut PT Jamu Jago

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG- Mempertahankan perusahaan, terlebih lagi usaha keluarga yang sudah memiliki nama besar, diakui Ivana Suprana tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebagai generasi keempat, dia tidak ingin sekadar melanjutkan. Ivana ingin, PT Jamu Jago tetap mendapat tempat di hati pelanggan dan membuat generasi muda suka minum jamu. Bagaimana usaha Direktur Utama PT Jamu Jago Ivana Suprana mewujudkannya? Berikut hasil percakapan wartawan Tribun Jateng Deni Setiawan dan M Syofri Kurniawan, belum lama ini.

Kira-kira apa yang mendasari generasi ketiga (Jaya Suprana dkk –Red) mempercayakan kepemimpinan perusahaan ini kepada Anda?

Jujur, saya tidak tahu kenapa saya yang ditunjuk menggantikan Pak Jaya Suprana sebagai Direktur Utama. Tapi, lepas dari alasan utama, saya dianggap dapat menjembatani generasi ketiga dan generasi sekarang. Bisa mengomunikasikan apa yang menjadi keinginan beda generasi itu. Benar tidaknya, saya tidak tahu. Sayapun berusaha memegang kepercayaan yang diberikan keluarga itu. Sesuai prinsip, pemangku kepemimpinan memang harus orang dalam (keluarga), tidak diperkenankan orang lain memegang jabatan ini. Ketika ditunjuk sebagai Direktur Utama PT Jamu Jago pada 2010 lalu, saya juga sudah menjadi bagian perusahaan. Saya bergabung sejak 2007 di bagian produksi. Saat penunjukan itu, selain saya, ada Pak Arya Suprana (kini menjabat Direktur Utama Degepharm –Red).

Langkah pertama apa yang Anda lakukan sebagai Direktur Utama?

Saya tidak menutup mata apabila mayoritas karyawan di perusahaan termasuk senior. Dari sekitar 600-800 karyawan yang ada sekarang, 80 persen masuk kategori senior. Baik dari segi usia hingga lama mengabdi di perusahaan yang didirikan TK Suprana pada 1918 ini. Ini tantangan pertama yang harus saya selesaikan. Saya butuh perubahan yang tetap menjunjung tinggi profesionalisme perusahaan. Yang saya lakukan, melakukan pendekatan humanis ke satu per satu karyawan dan intens menjalin komunikasi. Dalam setiap kesempatan itu, saya mengajak mereka berbuat sesuatu yang berbeda demi mempertahankan kemajuan perusahaan dan bersiap menghadapi persaingan di depan. Puji syukur, secara bertahap, langkah tersebut berhasil. Bahkan, hubungan kami terjalin akrab tanpa memandang status atasan maupun bawahan.

Apa yang Anda pikirkan tentang PT Jamu Jago, dahulu, sekarang, dan esok?

Jamu Jago bertempur di industri kesehatan selama empat generasi. Kesuksesan maupun kebesaran yang didapat saat ini tentu tidak terlepas dari para pendahulu. Misal, di generasi kedua, Pak Panji Suprana yang secara bisnis mampu melesatkan perusahaan menjadi semakin dikenal masyarakat hingga 1983. Setelah itu, semakin berkembang saat dipimpin Pak Jaya Suprana yang memasarkan dan mengenalkan produk secara kreatif sehingga mampu berkompetisi. Meski perusahaan sudah berkembang, ada satu prinsip atau falsafah hidup dan kerja yang wajib dipegang sampai kapanpun, yakni Ojo Dumeh. Itu yang kami yakini bisa membuat perusahaan ada dan bakal tetap ada hingga esok. Kini, saya di generasi keempat. Saya bersama Arya Suprana (Direktur Utama Degepharm), Tatum Suprana (Direktur Human Resource Jamu Jago), Andoyo (Direktur Keuangan Jamu Jago), dan Vincent Suprana (Product Manager Coordinator Jamu Jago) pun tidak ingin menerima apa yang sudah ada. Kami bersepakat sejak awal, akan selalu berinovasi dalam produk. Memberikan perubahan yang bermanfaat secara luas.

Inovasi apa saja yang telah Anda lakukan di Jamu Jago, sejak 2010 hingga saat ini?

 Inovasi yang konkret terlihat adalah produk. Setidaknya, ada tiga produk yang berhasil dikembangkan di kepemimpinan saya. Ketiganya, minyak telon cream Bebe Roosie, obat pria Purwoceng Xtra, dan sirup anak Buyung Upik. Semua produk tersebut dikemas melalui teknologi terkini agar menarik konsumen. Tentu saja, unsur jamu tetap ada di ketiganya. Bahkan, mayoritas bahan baku yang digunakan tradisional. Arti lain, produknya modern tetapi tetap berbahan lokal dan dijamin tidak menggunakan bahan kimia sedikitpun. Hasilnya, kami terus mengalami pertumbuhan 20-30 persen per tahun. Saat ini, setidaknya ada 170 item jamu yang diproduksi PT Jamu Jago dan dipasarkan di seluruh pelosok tanah air. Visi utama saya, membuat semakin banyak orang, khususnya generasi muda, tidak lagi malu minum jamu.

Bagaimana nasib produk jamu jaman dulu (jadul), apakah masih laku di pasaran?

Kami tetap mempertahankan dan memroduksi produk lama. Hanya, pengemasannya yang berubah. Kami tidak mau dianggap durhaka. Bagaimanapun, setiap produk punya segmen tersendiri. Di tiap generasi pun, ada produk yang kuat. Misal, untuk produk yang dianggap lawas, jamu pria EsHa cukup populer. Begitu juga produk untuk anak-anak yang lebih kuat Buyung Upik. Kami juga tetap memertahankan produk seduh. Karena di Jawa Timur, bentuk seduh Jamu Jago yang menguasai pasar jamu. Sedangkan di Jawa Barat dan Jawa Tengah, produk yang paling disuka jamu yang dijajakan melalui gendongan. Fakta itu pula yang memberikan rasa optimistis sekaligus apreasiasi kami kepada konsumen di tanah air. Harapannya, tentu semakin banyak yang suka minum jamu.

Pernahkah terjadi konflik keluarga yang kemudian mengganggu stabilitas kerja di perusahaan?

Jamu Jago, secara langsung, merupakan tempat menimba banyak pelajaran. Bagaimana kami harus membesarkan bisnis keluarga tanpa terjadi konflik, itu pun menjadi pelajaran yang selalu diperoleh dari generasi ke generasi. Pelajaran utama, menjunjung tinggi dan mengacu pada falsafah Jawa. Di antaranya, “mangan ora mangan sing penting kumpul” dan “rukun agawe santoso”. Falsafah tersebut tidak sekadar simbol atau makna tertulis di perusahaan tetapi acuan dasar di setiap perilaku kami. Dari memegang teguh falsafah itu, tidak pernah ada cerita kami, gerenasi penerus, saling berebut kekuasaan yang menimbulkan konflik. Fungsi musyawarah dalam keluarga terus dilakukan di setiap forum. Ini pencegah perpecahan paling jitu dalam benturan kepentingan maupun konflik internal.

Apa obsesi yang ingin Anda capai melalui jamu?

Sepele namun wajib terealisasi sebelum saya lengser dari kursi kepemimpinan, saya ingin perusahaan jamu semakin diperhitungkan sebagai perusahaan kebanggaan Indonesia. Tidak muluk-muluk, diawali di tingkat Indonesia terlebih dahulu. Setelah populer, baru di dunia internasional. Terus terang, setiap mendengar beberapa pihak, terutama pemerintah yang merasa malu menyebut nama “jamu”, saya menjadi orang yang rewel dan bakal banyak berkomentar. Tidak ada salahnya jika kata “jamu” lebih digaungkan. Tidak perlu menggunakan kata-kata herbal atau lainnya. Prinsip, jamu dan herbal itu beda. Apalagi, sebentar lagi, Indonesia berpartisipasi di Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), Asean Free Trade Area (AFTA), atau pasar bebas. Ini waktunya mempersiapkan diri dan meneguhkan jiwa cinta produk dalam negeri. Jamu pun produk kebanggaan Indonesia karenanya jangan dipandang sebelah mata. Prinsip utama, ‘Jamu Indonesia, Penguasanya Indonesia’.

Dari sisi bisnis, bagaimana prospek perusahaan jamu di Indonesia ke depan?

Hingga saat ini, saya sangat yakin dan bertambah yakin prospek jamu di Indonesia bagus dan semakin membaik. Apalagi, tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan meningkat. Satu caranya, melalui konsumsi jamu. Mereka sadar, menjadi sehat itu sangat mahal. Ketika sakit, tidak sedikit uang yang harus dirogoh untuk membeli obat yang semakin mahal. Bukti lain, perusahaan farmasi berangsur-angsur masuk ke industri jamu yang kemudian dikemas dalam bentuk herbal. Jamu bukan sesuatu yang jelek. Jamu justru sangat baik untuk kesehatan dan dapat dimanfaatkan. Yang terpenting, mereka dapat memilih dan mawas diri, jangan sampai dikacaukan jamu instan yang sempat menggegerkan perusahaan jamu pada 1990-an lalu.

Menurut Anda, sudahkan pemerintah memberi support terhadap keberlangsungan perusahaan jamu? Dapat saya katakana, (pemerintah) belum sepenuhnya (mendukung). Tetapi, akhir-akhir ini, ada perkembangan baik. Pemerintah mulai pro nasib perusahaan jamu. Informasi terakhir, pemerintah bersama Gabungan Pengusaha (GP) Jamu Indonesia sedang mengusahakan jamu masuk ke daftar UNESCO, setelah batik dan angklung. Lalu, Badan Pengawasan Obat dan Minuman (BPOM) juga berkomitmen bakal secara intens mengawasi penjualan jamu di pasaran dan menindak tegas keberadaan jamu ilegal. Harapan saya, semua yang sedang dilakukan bersama demi mempertahankan dan memajukan perusahaan jamu di Indonesia ini dapat semakin nyata. Sehingga, jamu kembali memasyarakat di berbagai generasi. Bagaimanapun dan wajib diakui, jamu merupakan produk asli Indonesia. Minum jamu, berarti cinta produk Indonesia. (*)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *